hit tracker

Jumat, 29 Mei 2009

HAUL AL MAGHFURLAHU KH.AHMAD MARZUQI GIRILOYO

Insya Allah akan diselenggarakan pada malam ahad, tanggal 27 juni 2009, di PP Ar Romli, Giriloyo, Imogiri, Bantul.

Selasa, 19 Mei 2009

HAUL KE-5 KH ASYHARI MARZUQI

Tak terasa 5 tahun sudah romo kyai meninggalkan kita. Semangat hidup terkadang memang terasa sangat menurun sepeninggal romo kyai. Untuk mengenang jasa-jasa beliau dan menumbuhkan kembali semangat hidup ala ulama (yang tercermin dalam kehidupan al maghfurlahu), sudah sepatutnya bagi kita untuk mengikuti rangkaian acara haul yang akan dilaksanakan pada tanggal 16 Juni 2009 di PP Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta. mau'idzoh hasanah insyaAllah akan disampaikan oleh Habib Luthfi Pekalongan.

Selasa, 28 April 2009

humor maning apa ya.....?

berikan suaramu

dono, kakak doni, adalah seorang yang asyik. jos pokoke....!dia gak mau ketinggalan jaman. "sekarang jamannya pemilu. sudah gak jamannya lagi golput". katanya pada petugas TPS.
petugas hanya manggut-manggut. sudah terlalu sering sih warga negara yang bernaam dono ini nyleneh.
setelah beberapa lama ngantri, tiba giliran dono.
"bapak dono", panggil mas petugas.
dono, setelah dipanggil PAK, kini tamppil beda. agak besar sedikit kepalanya.
lama sekali. dono masih di bilik.
tiba-tiba semua orang yang ada di bilik dekatnya berlari. misuh-misuh.
"siapa nih yang kentut?",tanya petugas.
tanpa ragu dan bimbang dono tunjuk jari.
"saya...."
"lho..kamu gawe gawe masalah. sekarang wayahnya nyontreng. berikan suaramu untuk negeri ini ", kata petugas.
"saya sudah berusaha memberikan suara. tapi cuma lirih. yang banyak malah gasnya. bau kan semuanya.....?"
ooooooo......degelmu!
bilang ae pengen ngentut. pake alasan memberikan suara segala.

Rabu, 15 April 2009

Alm. Al Maghfurlah H. Marzuqi Romli (1901-1991 M)

Alm. Al Maghfurlah H. Marzuqi Romli (1901-1991 M)

Giriloyo adalah sebuah dusun di bawah kaki perbukitan Imogiri. Masyarakat sekitar mengenal dengan nama Pajimatan, suatu bukit yang terkenal di daerah kawasan selatan Yogyakarta karena disanalah raja-raja kerajaan Mataram Islam dimakamkan.

Daerah Giriloyo ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan Daerah Istetimewa Yogyakarta (jaraknya hanya sekitar 15 km). Namun karena daerah ini terpencil dan berada di kaki bukit. Sasana khas pedesaan yang sepi dan sunyi namun penuh dengan kebersamaan dan kedamaian sangat mewarnai daerah tersebut.

Suasana sepi yang mewarnai Giriloyo itu pada pertengahan abad ke-18 M sedikit demi sedikit berrubah dengan munculnya kelompok pengajian yang diasuh oleh KH. Romli, seorang ulama yang menjadi Mursyid Tarekat Syathariyah. Seluruh murid-muridnya diberi ijazah tarekat tersebut dengan maksud agar mereka memiliki amalan-amalan harian yang pada akhirnya bisa lebih mendekatkan diri pada Allah SWT.

Keseriusan dan ketekunan dalam pengelolaan pengajian, membuat KH. Romli seakan melupakan sunnah rasul yang lain, yaitu melangsungkan pernikahan. Maka ketika dirasa jamaah pengajian yang dibinanya itu semakin lama semakin menunjukkan peningkatan, beliau segera melaksanakan pernikahan dengan putri dari Kiai Ali. Dari pernikahan dengan putri Kiai Ali ini lahir 5 orang putra yang salah satunya adalah bernama Ahmad Marzuqi.

KH. Ahmad Marzuqi lahir pada tahun 1901 M di desa tempat ayahnya tinggal yaitu di Giriloyo Wukirsari Imogiri Bantul sebagai putra bungsu. Kiai Romli sangat berkeinginan kelak si bungsu apabila sudah besar dapat menggantikan perjuangan yang telah dirintisnya, mendidik orang-orang untuk lebih dekat pada Allah. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, sangat wajar apabila KH Marzuqi ketika baru berumur 4 tahun sudah dididik dengan konsentrasi penuh.

Pada tahun 1905 oleh Kiai Romli, Ahmad Marzuqi dipondokkan di Pondok Pesantren Kanggotan Pleret Bantul di bawah bimbingan KH. Zaini. Karena masih kecil, maka pada waktu itu beliau hanya diajari kitab-kitab ubudiyah seperti Safinatun Najah, Fathul Qorib dan lain-lain. Di pondok Kanggotan ini beliau belajar sampai tahun 1910 M.

Setelah lima tahun belajar di Kanggotan, Ahmad Marzuqi kemudian pindah pondok. Pondok yang dituju kali ini adalah Pondok Pesantren Termas yang berada di Pacitan Jawa Timur. pada saat itu pondok Termas berada di bawah bimbingan KH. Hafidz Dimyati, beliau belajar berbagai ilmu agama, seperti syara’, tasawuf, dan lain-lain. Di pondok ini beliau belajar selama 4 tahun, dari tahun 1910 sampai tahun 1914 M.

Ahmad Marzuki melanjutkan ngangsu kaweruh di ponok pesantren Watucongol Muntilan Magelang , tahun 1915 sampai tahun 1918. Kehausan Ahmad Marzuki dengan ilmu-ilmu keislmaan terobati di bawah bimbingan KH. Dimyati. Dengan semangat, beliau mempelajari

Pulang dari Watucongol, Ahmad Marzuqi kemudian meneruskan di pondok Pesantren Somolangu Kebumen Jawa Tengah. Dibawah bimbingan KH. Abdurrauf, beliau mendapat kepercayaan untuk mengajar santri (badal : sebagai pengganti kyai) apabila kiai sedang berhalangan atau sakit. Kepercayaan itu diemban dengan tekun dan ikhlas sehingga tidak heran jika beliau semakin lama semakin menguasai ilmu-ilmu yang sudah dipelajari di pondok-pondok yang terdahulu. Di Somolangu ini berlangsung antara tahun 1919 sampai tahun 1922.

Tahun 1922 sepulang dari Pondok Somolangu sampai tahun 1925, beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Lirap Kebumen Jawa Tengah. Walaupun sudah mahir membaca kitab, namun beliau tidak jemu untuk lebih mendalami kitab-kitab yang telah dikajinya terdahulu.

Hanya dua tahun lebih sedikit Ahmad Marzuqi menempat di Lirap Kebumen, pada tahun 1926 sampai tahun 1927 beliau pindah ke Pondok Pesantren Jamsaren yang ada di Solo Jawa Tengah. Pondok Jamsaren pada saat itu berada di bawah bimbingan KH. Idris. Sepulang dari Pondok Jamsaren ini beliau menunaikan ibadah haji untuk yang pertama kali dalam hidupnya.

Pada tahun 1927 (selepas menunaikan ibadah haji) sampai tahun 1931 beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok pesantren Krapyak Yogyakarta. Dibawah bimbingan KH. Munawwir ini beliau mewujudkan cita-citanya yang sudah lama terpendam ketika masih mengaji di Watucongol dahulu, yaitu keinginannya untuk menghafal Al-Qur’an 30 juz.

Keinginan itu menjadi kenyataan bahkan untuk melanggengkannya beliau baca ayat-ayat suci itu sampai khatam yaitu pada bulan Ramadlan saat sholat tarwih. Diceritakan, bahwa selama bulan ramadlan apabila badannya sehat, beliau khatamkan dalam satu bulan itu tiga kali khataman. Sepuluh hari pertama khatam untuk yang pertama, sepuluh hari kedua digunakan untuk menghatamkan bacaannya yang kedua dan sepuluh hari ketiga untuk yang ketiga kalinya.

KH. Ahmad Marzuqi Mulai berda’wah

Sepulang dari ngangsu kaweruh di berbagai pondok pesantren, sekitar tahun 1931, KH. Ahmad Marzuqi mulai melakukan pengajian-pengajian di berbagai tempat terutama di desa-desa di Gunungkidul. Perjalanan untuk mencapai daerah-daerah di Gunungkidul yang melewati hutan belantara memakan waktu berhari-hari itu beliau lakukan dengan berjalan kaki.

Dalam melakukan Dakwah di Gunungkidul, KH. Ahmad Marzuqi atau Mbah Marzuqi -demikian kata santri PPNU- bisa disebut sebagai pembuka jalan bagi keberadaan Islam di daerah tersebut. Ketika beliau membuka jamaah pengajian yang baru di desa-desa, beliau islamkan terlebih dahulu orang-orang yang akan ikut dalam pengajian tersebut. Sehingga ketika semakin hari semakin bertambah jumlah jamaahnya berarti semakin banyak pula orang Islam yang ada di desa itu.

Perjalanan dalam berdakwah itu bukan berarti tanpa mendapatkan rintangan. Rintangan itu datang dalam perjalanan maupun oleh orang yang tidak suka dengan dakwah yang beliau lakukan. Diceritakan, ketika dalam suatu perjalanan menuju salah satu desa di daerah Gunungkidul harus melewati sebuah sungai yang lebar dan dalam. Seseorang harus berenang untuk sampai di seberang karena tidak ada gatek. KH. Habib yang pada waktu itu diajak untuk menemani, tidak berani turun ke sungai karena melihat ada seekor ular besar sedang menunggu. Melihat ular di sungai yang siap untuk menyerangnya KH. Habib berteriak “Pak, ada ular !” Teriakannya tidak dijawab oleh Mbah Marzuqi. Beliau hanya menusukkan jari manisnya di pinggang KH. Habib. Seketika itu juga KH. Habib sudah berada di seberang sungai.

Untuk mempersatukan jama’ah pengajian, Mbah Marzuqi mendirikan masjid atau musholla di desa-desa. Hal ini dimaksudkan agar para jamaah bisa berkumpul dalam satu tempat dalam melaksanakan kegiatan. Pendirian masjid dan musholla ini juga dimaksudkan agar masyarakat di desa itu apabila sholat tidak dilakukan sendiri-sendiri di rumah, tetapi dilakukan di masjid atau musholla dengan berjamaah.

Untuk melengkapi pembangunan masjid, beliau mendirikan sekolah-sekolah formal yang tentunya hal ini bertujuan agar generasi mudanya bisa mendapatkan pendidikan formal. Tercatat ada 130 buah untuk tingkat taman kanak-kanak, 53 buah untuk tingkat Madrasah Ibtidaiyah, 12 sekolah untuk tingkat MTs dan SMP, 8 sekolah untuk tingkat MA dan SMU.

Aktivitas dakwah ini masih terus berlangsung ketika beliau dipercaya memimpin pesantren yang didirikan oleh sang ayah, KH. Romli, pada tahun 1935. Pondok itu dipimpin oleh beliau berlangsung sampai dengan tahun 1955. Bahkan selama memimpin pondok pesantren tersebut, beliau mendapatkan sambutan yang semakin hangat dari masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari terus berkembangnya pondok tersebut yang semakin hari semakin banyak orang yang ikut mengaji.

Selepas Kemerdekaan RI 1945, bumi nusantara ternyata masih disenangi oleh Belanda sehingga wajar apabila pada bulan-bulan setelah Agustusan itu Belanda masih banyak yang berseliweran di Indonesia. Orang-orang pribumi yang melihat tingkah Belanda itu merasa tidak senang sehingga di banyak tempat dikumpulkan para pemuda untuk digembleng menjadi prajurit yang tangguh. Mereka diberi ijazah dan amalan serta olah-kanuragan. Salah satu tempat yang digunakan sebagai markas itu adalah pesantren yang dipimpin oleh KH. Ahmad Marzuqi.

Mbah Marzuqi yang semenjak kecil suka dengan kehidupan sederhana, suka menolong orang lain dan tidak suka hidup mewah, mempunyai pandangan hidup bahwa seluruh jiwa dan raganya semata-mata dicurahkan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Prinsip hidup ini beliau wujudkan dengan melakukan dakwah dari satu desa ke desa yang lainnya tanpa pernah mengharapkan imbalan. Dakwah ini beliau lakukan dengan ikhlas dan semata-mata hanya untuk mengharapkan ridla dari Allah.

Kiai memang dalam berdakwah tidak pernah mengharapkan imbalan bahkan beliau serahkan seluruh harta bendanya pada mereka yang membutuhkan. Diceritakan, bahwa beliau mempunyai sawah yang luasnya mencapai 7 hektar dan sapi yang jumlahnya mencapai sekitar 150 ekor. Harta miliknya itu seluruhnya beliau serahkan pada masyarakat yang kurang mampu dengan sistem bagi hasil (tidak ada informasi yang menceritakan berapa bagian untuk beliau dan orang yang diserahi). Pemberian dengan sistem tersebut semata-mata hanya untuk meringankan beban yang ada pada masyarakat.

Pertolongan yang beliau berikan disamping secara materi juga dengan memberikan pengobatan kepada siapa saja yang memerlukannya. Bahkan dengan memberikan pengobatan ini, aktivitas dan pengikut dalam jamaahnya semakin besar sehingga sangat memudahkan beliau apabila berkeinginan membuka daerah binaan yang baru.

Ilmu ketabiban ini beliau dapatkan disamping dari ayahnya, KH. Romli juga beliau dapatkan dari semenjak beliau mondok di pesantren-pesantren. Menurut KH. Habib Marzuqi, salah seorang putranya bahwa ilmu ketabiban itu beliau peroleh dari KH. Dalhar Watucongol, KH. Ma’ruf, KH. Kholil Bangkalan, KH. Dimyati Termas, KH. Dimyati Kebumen dan KH. Abdurrahman. Pemberian pertolongan ini juga beliau imaksudkan sebagai sarana berda’wah.

Membina Rumah Tangga

Sebagai putra bungsu dari lima bersaudara, KH. Ahmad Marzuqi mendapatkan tongkat estafet dari KH. Romli untuk meneruskan perjuangannya. Untuk membantu perjuangannya KH. Ahmad Marzuqi melangsungkan pernikahan dengan putri dari KH. Arifin yaitu Ny. Dasinah. Dari pernikahan ini menurunkan dua orang putra yaitu KH. Asyhari Marzuqi (Kotagede) dan KH. Habib Marzuqi (Wates Kulonprogo).

Setelah berpisah dengan Ny. Dasinah, pada tahun 1949 KH. Ahmad Marzuqi melangsungkan pernikahan untuk yang kedua kalinya yaitu dengan putri KH. Abdullah, Ny. Zuhroh. Dari pernikahan ini menurunkan dua putra yaitu KH. Masyhudi dan KH. Ahmad Zabidi dan seorang putri yaitu Hj. Siti Hannah.

Akhir Hayatnya

KH. Ahmad Marzuqi sewaktu hidupnya pernah melarang tentang 3 (tiga) hal. Tiga hal itu adalah pertama, beliau melarang dan mengharamkan adanya kebijakan pemerintah mengenai diberlakukannya Keluarga Berencana (KB) bagi masyarakat Indonesia. Kedua, beliau melarang dan mengharamkan adanya praktek dunia perbankan. Ketiga, beliau melarang keras adanya anggapan bahwa semua agama di Indonesia adalah baik dan benar.

Larangan ini sekitar awal tahun 80-an beliau tanamkan kembali pada setiap tamu yang berkunjung ke rumahnya di Giriloyo. Tidak peduli apakah tamu itu laki-laki atau perempuan, kecil atau besar, pegawai biasa maupun pejabat. Semua dilarang untuk melaksanakan tiga hal tersebut diatas. Begitulah semua itu berlangsung sampai pada tahun 1991 disaat beliau akan menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Innalillahi wainna ilaihi rajiuun. Tanggal 9 Jumadil Akhir 1411 H atau tanggal 14 Desember 1991 M pada hari Sabtu malam Ahad adalah hari beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Seluruh putranya dan masyarakat sekitar sudah berkumpul. Disaat itulah beliau berwasiat kepada putra-putra dan seluruh kaum muslimin untuk membaca do’a Nekto Dinulu. Do’a itu bacaannya adalah sebagai berikut:

Allahumma Nekto Dinulu ahub-ahub ing Allah

Laa ilaaha illa Allah Muhammad rasulullah shalla Allah alaihi wasallam

Allahumma Roh amadep ing Nurullah

Somad-somad kelawan roh idlofi

Jisim rupaku amadep ing cahaya

Ning roh angadep uripku ing cahyane Allah

Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim Ya Ghaffar Ya Aziz

Ya Quddus Ya ‘Alim Ya Karim Ya Arhamarrahimin.

Pagi harinya, ribuan orang datang dari berbagai daerah untuk memberikan penghormatan yang terakhir (melayat). Tidak sedikit dari para pelayat itu mengetahui meninggalnya KH. Ahmad Marzuqi lewat mimpi.

Diceritakan, pada malam hari (malam Ahad) seorang haji di daerah Prembun Kebumen bermimpi kedatangan Mbah Marzuqi. Dalam mimpi itu Mbah Marzuqi menyuruhnya untuk pergi ke Giriloyo dan jangan lupa membawa bakmi. Hari Ahad pagi, sambil membawakan bakmi pesanan Mbah Marzuqi pak haji dari kebumen itu meluncur menuju Giriloyo. Sebelum memasuki Giriloyo, haji itu singgah terlebih dahulu di masjid Pondok Ar-Ramli Wukirsari karena dilihatnya ada ribuan orang berkumpul. Kemudian pak haji dari kebumen itu bertanya “Ada apa kok suasananya ramai sekali?” Orang yang ditanya oleh pak haji itu menjawab bahwa Mbah Marzuqi meninggal. Pak haji tidak percaya karena tadi malam beliau bermimpi bertemu Mbah Marzuqi dan disuruh ke Giriloyo. Namun setelah mengetahui peristiwa yang sebenarnya terjadi, pak haji dari Kebumen itupun lemas.

Begitulah banyak dari para hadirin yang datang karena mendapatkan mimpi “disuruh ke Giriloyo oleh Mbah Marzuqi”. Semua masyarakat yang ditinggalkan merasa kehilangan dengan kepergiannya. Namun apa mau dikata, kita tidak bisa melawan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah. Begitulah KH. Ahmad Marzuqi telah mendahului kita dengan menanamkan pijakan yang mantap dan kokoh pada masyarakat yang ditinggalkan. Semoga amal baik beliau diterima disisi-Nya dan kita yang ditinggalkan bisa meneruskan apa yang menjadi cita-citanya. Amin.

Al Maghfurlah H. Asyhari Marzuqi (1939-2004 M)

Alm. Al Maghfurlah H. Asyhari Marzuqi (1939-2004 M)

Biografi dan Profil

H. Asyhari Marzuqi, lahir di Giriloyo pada hari Selasa Kliwon tanggal 10 Nopember 1942 M atau tanggal 1 Dzulqo’dah 1361 H. Tanggal ini oleh H. Asyhari Marzuqi dikira-kira sendiri, karena ayahnya (Mbah Marzuqi) tidak menuliskan tanggal kelahirannya. Beliau hanya berkata pada H. Asyhari Marzuqi, “kamu lahir pada saat Jepang memasuki kota Yogyakarta”.
Tahun 1949, Asyhari Marzuqi masuk ke sekolah SR (Sekolah Rakyat) yang ada di Singosaren Wukirsari. Tapi karena letak sekolahan ini dekat dengan jalan besar yang sewaktu-waktu ada patroli Jepang, akhirnya sekolah itu diungsikan agak ke timur, tepatnya di Giriloyo, sampai kira-kira Asyhari kecil menginjak kelas 2. Kemudian kelas tiganya pindah lagi ke Singosaren, kelas 4 dan 5 dipindahkan lagi ke Puroloyo Imogiri dan kelas 6 nya pindah lagi ke Gestrikan (sekarang ada di timur Puskesmas Imogiri).
Lulus dari SR pada tahun 1955, Asyhari langsung ke Krapyak. Pada saat itu di Krapyak sudah ada pendidikan tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Pendidikan itu jika ditempuh secara normal akan memakan waktu selama 10 tahun, yaitu Ibtidaiyah 4 tahun, Tsanawiyah 3 tahun dan Aliyah 3 tahun. Tapi karena kersane Kiai Ali Maksum (Pengasuh Pondok Krapyak) pendidikan itu oleh H. Asyhari Marzuqi tidak ditempuh selama 10 tahun, karena terkadang dalam satu tahun beliau bisa naik dua kali. Ibtidaiyah di tempuhnya selama 2 tahun, Tasanawiyah 2 tahun dan Aliyah 2 tahun. Pada tahun 1959, ketika H. Asyhari Marzuqi masuk kelas satu Aliyah, oleh mBah Ali Maksum beliau disuruh ikut mengajar adik-adik kelasnya, sehingga pada saat itu beliau kalau pagi mengajar dan sorenya sekolah di Aliyah.
Setelah lulus dari Madrasah Aliyah (1961), beliau ditawari oleh Kiai Ali untuk melanjutkan studinya di Madinah. Bersama Gus Bik (Attabik Ali, putra Kiai Ali), Asyhari ikut mendaftar. Tapi pada saat itu yang berangkat Gus Bik. Tujuh bulan setelah keberadaannya di Madinah ternyata Gus Attabik tidak kerasan, kemudian kembali ke Krapyak. keinginan Kiai Ali supaya H. Asyhari Marzuqi menggantikan Gus Bik pun tidak terlaksana, karena ternyata jatah Gus Bik itu sudah digantikan oleh orang lain. Akhirnya, beliau kembali lagi ke Krapyak untuk mengajar.
Pada suatu hari H. Asyhari Marzuqi datang ke pak Kyai Musaddad yang tempat tinggalnya ada di daerah barat Malioboro. Asyhari mengutarakan keinginan untuk belajar di Timur Tengah. Tetapi oleh beliau, Asyhari disarankan untuk menempuh jalur yang semestinya, “kalau kamu ingin pergi ke Timur tengah, ya harus melewati jalur yang semestinya, masuklah IAIN.” begitu katanya. Atas saran Kyai Musaddad, menjelang GESTAPU (gerakan 30 September oleh PKI), H. Asyhari Marzuqi masuk ke IAIN Sunan Kalijaga Fakultas Syari’ah jurusan Tafsir Hadits.
Dunia pendidikan pada saat itu sedang kacau. Pada saat menjelang Gestapu itu hampir semua sekolahan libur. Sementara di IAIN sendiri sedang terjadi demo besar-besaran terhadap Rektor ( Prof. Soenaryo). Para demonstran itu meminta Rektor untuk mundur dari jabatannya dengan tuduhan bahwa Rektor telah melakukan NU-isasi di lingkungan IAIN. Sehingga dengan adanya dua permasalahan tersebut praktis tidak ada perkuliahan.
Tahun 1968 ketika perkuliahan sudah aktif (H. Asyhari Marzuqi kira-kira semester 7), oleh Prof. Hasbi Asshiddiqi Asyhari Marzuqi dijadikan asisten untuk mengajar adik-adik yang ada di semester awal untuk mata kuliah Bahasa Arab, Nahwu dan Shorf. Ketika mengajar itulah H. Asyhari Marzuqi mengenal Malik Madani (sekarang Dekan Fak. Syariah), Ali As’ad (sekarang politisi) masuk menjadi mahasiswa baru IAIN.
Untuk membedakan komponen yang ada di IAIN, pada waktu itu ada atribut yang harus dikenakan oleh seluruh civitas akademika. Dosen dan Asisten pakai atribut (Badge) warna putih dan mahasiswa pakai atribut (Badge) warna hijau. Sehingga terkadang Asyhari Marzuqi kalau pagi pakai atribut warna hijau kemudian siang pakai yang warna putih.
Pada tahun 1970 oleh Prof. Hasbi, Asyhari Marzuqi diminta untuk mengajukan permohonan menjadi Dosen di IAIN. Tapi, karena merasa belum cukup ilmu, beliau tidak menerima tawaran itu. Akan tetapi dari tawaran itulah, Asyhari terpacu untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya.
Setelah lulus dari IAIN (sekitar tahun 1971), keinginan untuk belajar ke Timur Tengah kembali menguat. Dengan biaya sendiri, akhirnya Asyhari Marzuqi ke Timur Tengah. Ia sangat berharap dapat meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (S2) pada disiplin ilmu yang telah ditekuni di Indonesia.
Ada kisah yang cukup heroik menjelang keberangkatannya ke Timur Tengah. Ceritanya, setelah mendapatkan paspor dan akan berangkat ke Iraq. Asyhari Marzuqi bermaksud sowan kepada bapak RH. Suwardiyono (Pendiri dan Ketua Yayasan Pendidikan Bina Putra) di Gunungkidul. Saat itu masih belum banyak kendaraan angkutan bis. Sehingga apabila ada bis yang Gunungkidul pasti penuh sesak oleh penumpang. Bis yang di dalamnya Asyhari Marzuqi menumpang pada saat itu sudah tidak muat lagi. Karena banyaknya penumpang, akhirnya belasan orang rela berada di atas atap bis. Asyhari pada waktu itu mendapat tempat duduk persis di samping kiri sopir dan disebelah kirinya ada seorang penumpang yang berdiri.
Bis yang penuh sesak oleh penumpang itu melaju menuju Wonosari seperti biasa. Sesampai di tikungan irung petruk (Desa Karangsari kec. Patuk), bis masih terkendali. Tetapi setelah tikungan tajam ke kiri, ternyata bis tidak bisa dikendalikan lagi oleh sopir. Bahaya pun datang mengancam karena 15 meter di depan bis itu adalah jurang yang sangat dalam. Sang sopir yang sudah berusaha membanting stir itu bergumam lirih sekali, “aduh, mati!” Hanya Asyhari yang mendengarnya. Benar!. Bis meluncur deras masuk jurang yang dalam itu. Bis menjungkir dan kepala bis lebih dulu menghantam tanah. Kemudian jatuh ke kanan.
Belasan orang meninggal dalam peristiwa kecelakaan tersebut. Belasan lainnya luka berat. Ada yang patah kaki, tangan, dan sebagainya. Kekuasaan Allah berbicara lain pada Asyhari. Hanya karena pertolongan Allah semata beliau dapat selamat. Tak ada sedikit pun luka menggores kulitnya. Padahal secara matematis, mestinya Asyhari, sopir dan orang yang berdiri itu yang terlebih dahulu terkena kaca dan menabrak bongkahan batu mengingat posisi bis yang jungkir ke bawah. Kehendak Allah, orang yang berdiri di samping Asyhari ngglosor persis di depannya, sehingga posisi Asyhari terhalang oleh orang itu dari pecahan kaca dan benturan batu. Asyhari selamat. Bahkan tidak mengalami pingsan, tidak ada luka. Ia kembali ke Yogya dengan selamat. Tetapi dua hari setelah kejadian itu, seluruh tubuhnya terasa sakit tak terkira.
Asyhari Marzuqi berangkat ke Timur Tengah dengan negara tujuan Iraq. Orang-orang seperti KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (mantan Presiden RI), KH. Irfan Zidni (sekarang PBNU) dan yang lainnya sudah berada di sana terlebih dahulu. Beliau berkeinginan untuk menemui mereka. Dengan membawa nama Bapak Mahfudz Ridwan dari Salatiga beliau menemui mereka.
Kedatangan Asyhari Marzuqi di negeri seribu satu malam disambut dengan hangat oleh para mahasiswa yang sudah terlebih dahulu datang. Bahkan Irfan Zidni ikut membantu mencarikannya beasiswa. Ternyata di Iraq tidak ada beasiswa S2 untuk program Syari’ah. “Pupus harapanku untuk melanjutkan S2,” kata hatinya. Namun di sana ada satu kelompok pengajian yang berdiri sejak muridnya Imam Abu Hanifah (sekitar tahun 400-an Hijriyah). Lembaga ini dipelihara dan dikelola dengan baik sekali.
Di lembaga yang bernama “Kulliyatul Imam al-A’zhom” itulah yang akhirnnya H. Asyhari Marzuqi kembali memperdalam pengetahuannya. Waktu itu beliau mendapatkan beasiswa sebesar 15 Dinar perbulan. 1 Dinar sama dengan US $ 3 waktu itu. Beasiswa tersebut cukup untuk bekal hidup dan sedikit membeli buku. Beasiswa itu diterimanya sampai tahun ke-5 berada di Iraq.
Teman-teman belajarnya di Kulliyatul Imam al-A’zhom adalah para khatib dan alim ulama dari negara-negara Timur Tengah. Yang paling banyak datang dari Kurdistan. Mereka ini walaupun sudah menjadi khatib namun belum mempunyai ijazah. Sehingga tidak heran ketika para dosen di tempat itu justru memanggil kawan-kawan Asyhari Marzuqi dengan panggilan “ustadz” karena memang umurnya lebih tua.
Orang-orang Kurdistan ini rata-rata mempunyai daya hafal yang luar biasa. Sehingga Asyhari Marzuqi tidak kaget apabila kitab-kitab seperti Alfiyah, Shohih Bukhori dan Muslim mereka hafal semua. Namun, Alhamdulillah H. Asyhari Marzuqi saat itu masih dapat rangking 3. Prestasi itu membuat H. Asyhari Marzuqi mendapatkan ucapan selamat (penghargaan) dari Menteri Penerangan RI.
Lima tahun setelah mendapatkan beasiswa, H. Asyhari Marzuqi bekerja di Kedutaan Besar RI di Iraq. Dubesnya saat itu adalah Malik Kuswadi orang Jakarta. Tugas H. Asyhari Marzuqi di Kedutaan besar itu pada awalnya adalah menterjemah surat kabar Arab ke dalam bahasa Indonesia. Sehari beliau terkadang bisa menyelesaikan 3 sampai 4 surat kabar.
Keinginan H. Asyhari Marzuqi untuk S2 masih tinggi. H. Asyhari Marzuqi berusaha mencari beasiswa ke Kairo tapi selalu gagal. Akhirnya H. Asyhari Marzuqi mengambil S2 untuk program kuliah jarak jauh (kalau di Indonesia semacam UT) yang ada di Kairo Mesir (Afrika) yaitu di “al-Dirasah al-Islamiyah” dengan biaya pada waktu itu sebesar US $115. Ketika akan mengikuti ujian masuk program itulah (tahun 1978) H. Asyhari Marzuqi mendapatkan telegram dari rumah yang isinya “disuruh pulang”. Beliau pulang dengan meninggalkan ujian.
H. Asyhari Marzuqi pulang ke Indonesia dengan selamat. Sesampai di rumah, oleh Mbah Marzuqi, beliau disuruh untuk memilih calon pendamping hidup. Calon yang disodorkan kepadanya adalah seorang gadis dari Watucongol Muntilan dan seorang putri mBah Kiai pengasuh pondok Somolangu Kebumen. Pilihannya jatuh pada putri mBah Kiai dari Kabumen. Kemudian beliau datang ke Pondok Somolangu di Kebumen. Sesampainya di sana, H. Asyhari Marzuqi disambut dengan luar biasa oleh mBah Kiai. Namun ketika H. Asyhari Marzuqi akan khitbah pada putrinya, beliau dihalang-halangi (tidak diperbolehkan) oleh kakak iparnya (menantu mBah Kiai) padahal sang putri yang mondok di Solo itu sudah ada di rumah karena disuruh pulang untuk acara tersebut. Ketidakbolehan itu karena sang kakak sudah punya calon untuk adiknya yaitu orang dari Jakarta yang kaya.
H. Asyhari Marzuqi pulang ke rumah dengan hati yang masygul. Oleh pak Nurhadi (Tlenggongan Imogiri) beliau disarankan ke Ngrukem Bantul. H. Nurhadi memberinya selembar foto Ibu Nyai Hj. Barokah. Melihat foto itu H. Asyhari Marzuqi langsung setuju. Setelah semuanya diatur, 4 hari berikutnya H. Asyhari Marzuqi menikah dengan Ibu Nyai Hj. Barokah putri dari mBah Kiai Nawawi Abdul Aziz Ngrukem Bantul. Dua hari setelah menikah, H. Asyhari Marzuqi mengantarkan ibu (Hj. Barokah) ke pondoknya di Kediri. Dan dua hari setelah mengantarkan itu, H. Asyhari Marzuqi kembali ke Iraq dan menjalankan aktivitas seperti biasanya.
Delapan bulan setelah menikah, pada tahun 1979, ibu Nyai Hj. Barokah menyusul ke Iraq. Saat itu keinginan H. Asyhari Marzuqi untuk S2 sudah mulai melemah karena selalu gagal mendapatkan beasiswa. Kekecewaan ini akhirnya H. Asyhari Marzuqi lampiaskan dengan membeli kitab-kitab. Pelampiasan ini kemudian menjadi suatu hobi tersendiri bagi H. Asyhari Marzuqi. Sehingga setiap saat ada uang dan kesempatan langsung ia membeli kitab.
Sampai H. Asyhari Marzuqi kembali ke Indonesia pada tahun 1985 ada sekitar 1015 judul kitab dan buku yang telah H. Asyhari Marzuqi beli. Untuk mengirimkan ke rumah di Giriloyo, H. Asyhari Marzuqi titipkan sebagian kitab-kitab itu kepada para diplomat pada waktu mereka kembali ke Indonesia. Karena mereka punya jatah barang bawaan yang banyak di pesawat. Sebagian yang lain buku-buku itu dikirim lewat jasa Pos. Tetapi tidak semua kitab-kitab yang dikirimkan, baik yang dititipkan maupun lewat pos itu sampai ke tempat tujuan di Giriloyo dengan utuh. Kitab-kitab itu banyak yang hilang dan beliau tidak tahu di mana hilangnya.
Pembelian kitab-kitab itu ternyata memberikan pengaruh (atsar) yang besar sekali terhadap hari-hari H. Asyhari Marzuqi selanjutnya. Beliau tidak bisa membayangkan seandainya uang yang diperoleh dari pekerjaannya dahulu itu tidak dibelikan kitab, mungkin beliau tidak memiliki tinggalan (kenangan) pada generasinya nanti. “Seandainya pada saat itu gaji yang diperoleh disimpan dalam bentuk uang mungkin sudah habis sejak dahulu,” kata beliau.

Mengasuh PPNU
Pada tahun 1982, H. Asyhari Marzuqi mendapat telegram dari rumah yang isinya Mbah Marzuqi telah membeli tanah (sekarang menjadi bangunan ndalem) dan mendapat tanah wakaf dari pak H. Anwar untuk didirikan bangunan pondok (Lihat BAB I). H. Asyhari Marzuqi diminta pulang untuk membicarakan masalah Pondok.
Tahun 1985 H. Asyhari Marzuqi meniggalkan negeri Syaikh Abdul Qadir Jilani itu untuk kembali ke tanah kelahiran. H. Asyhari Marzuqi pulang bersama dengan ibu Nyai Hj. Barokah. Kemudian pada tahun 1986 tepatnya pada bulan Ramadlan di pondok Nurul Ummah mulai diadakan pengajian. Saat itu ada 27 santri, yang terdiri dari 25 santri putra dan 2 santri putri.

Pandangan Hidup dan Mauidzah
H. Asyhari Marzuqi selalu berusaha menanamkan rasa pengabdian dan kecintaan, dalam rangka mempersiapkan akhirat. Tuntunan atau pandangan itu terilhami oleh konsep “Addunya Mazro’atul akhirah” : bahwa dunia itu hanya sekedar sarana untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Dunia itu fana, tidak kekal, sehingga dengan ketidakkekalannya itu harus dipergunakan dengan maksimal agar bisa mencapai kebahagiaan akhirat yang kekal. Oleh karena itulah dunia ini dinamakan dar at-taklif yaitu tempat mengemban amanat, mengemban tugas-tugas dari Allah Swt. Karena kalau sudah di akhirat nanti bukan lagi sebagai dar at-taklif , tetapi sebagai dar al-jaza’ , yaitu suatu tempat untuk menerima upah dan imbalan atas sesuatu yang telah kita lakukan di dunia dahulu.


sumber : www.nurulummah.com

Senin, 13 April 2009

masukan buat KMNU UGM

assalamu'alaikum....

acara maulid rasul sudah terselenggara di UGM. akhirnya sedulur-sedulur nahdliyyin berhasil gawe acara di lingkungan kampus ugm. nama besar habib syech mampu menyedot banyak jamaah. menurut temanku, jamaah yang hadir sekitar 2000 orang. oke, sukses sudah acara kita.


Namun, ada yang perlu diperhatikan nih buat sedulur2 nahdliyyin di KMNU

1. publikasi sangat kurang. pondok pesantren adalah pusat cosmos dari NU. dalam acara seperti itu, gak ada salahnya bekerjasama dengan pondok pesantren. nuansanya pasti tambah berbau surga. menurut target awal saya, jamaah yang hadir seharusnya hingga 5000 orang. 2000 orang sebenarnya masih di bawah target. sebagai pembanding, acara haul KH Ahmad Marzuqi al maghfurlahu di Giriloyo Imogiri bisa mencapai angka 5000 jamaah.
Di jogja dekat ada banyak ponpes besar, ada PP al munawwir krapyak, PP pandan arang, PP mlangi, PP nurul ummah, PP wahid hasyim,PP al Mujahadah lempuyangan, dll. selebaran masukkan ke pondok2 donk, biar santri yang hadir tambah banyak. santri kan maskot NU!

2. saya gak tau apakah kyai2 diundang ato tidak. acara sebesar itu, apalagi dengan kehadiran Habib Syech, sudah sepatutnya dihadiri kalangan habaib, kyai2, dan ulama.

3. jangan hanya sekali gebrak kalau buat acara. walaupun sederhana, acara dengan tema yang nahdiyyin banget sebaiknya diadakan secara teratur.

matur suwun...
wassalam...

Sabtu, 11 April 2009

HAFLAH MAULID RASUL KMNU

HAFLAH MAULID RASUL KMNU

Keluarga Mahasiswa Nahdlatul 'Ulama UGM telah mendapat restu dari PW NU DIY untuk mengadakan Majelis Sholawat dan Mujahadah yang akan diselenggarakan pada


Hari : Ahad
Tanggal : 12 April 2009
Pukul : 20.00 sampai selesai
Tempat : Masjid Kampus UGM
Pemandu : HABIB SYECH bin ABDUL QODIR ASSEGHAF

Kegiatan ini, pada dasarnya bukan sekedar unjuk gigi atau istilah kerennya show force belaka!!! Ada urgensi yang lebih penting dari itu. Misi dakwah NU yang selama ini telah luntur, utamanya di kalangan mahasiswanya harus dihidupkan kembali. Mahasiswa yang kebanyakan juga santri harus dikembalikan kepada kodratnya sebagai bagian dari organisasi dakwah terbesar di negeri ini. Mahasiswa NU jangan hanya digirng pada diskusi2 panjang yang kadang tak jelas jeluntrungannya sehingga tak jarang juga kebablasan. Nah, momen Maulid kali ini semoga menjadi momen kebangkitan NU di UGM.
Insya Allah, kegiatan akan dihadiri oleh jamaah-jamah majelis sholawat yang memang sudah menggurita di kawasan Jogjakarta. Selain itu, tamu-tamu undangan dari Pengurus Wilayah NU DIY beserta jajarannya, Pondok Pesantren, dan tak lupa ibu bapak dosen UGM pun diajak untuk memeriahkannya. Tulisan ini, juga dimaksudkan untuk MENGUNDANG Sahabat2 semua serta seluruh warga nahdliyin dimanapun berada. Untuk itu, adanya kabar ini dimohon turut menyebarkannya ke sanak saudara khusunya NU di Jogjakrta.

Terima Kasih